Pembicaraan kami malam ini mengenai paradigma, kemudian mengalir seperti air sampai membahas pemilihan umum pada masa orde baru. Ketika itu bapak masih sangatlah muda saat orde baru dengan golkarnya jaya raya. Golkar dulu kalo kampanye sukanya membagikan gambar – gambar partainya pakek pesawat, katanya bapak. Siapa dulu yang berani sama golkar? Ga’ ada! Kalaupun ada ya mati, kalau ga mati ya masuk penjara, lanjutnya.
Hampir tiap malam sebelum kami semua masuk ke kamar masing- masing selalu disempatkan untuk sekedar bercerita tentang kesibukan kami seharian ini, atau sekedar nggosip ulah tetangga yang aneh, saudara yang tamak dan ceceran kisah kehidupan. Bapak dan ceritanya kadang memberikan semangat dalam diriku untuk terus berusaha menjadi orang baik, bisa menempatkan diri. Nasehat yang selalu didengungkan untukku adalah “sinok” (panggilan untuk anak gadis di daerah jawa tengahan) dalam hidup harus sabar seperti ibuk dan berani menghadapi hidup dengan segala resikonya seperti bapak.
Perjuangan bapak tidaklah mudah. Berawal dari seorang yang ingin maju dan mandiri hanya bermodalkan kemauan keras. Bapak hijrah dari kota kecil tempat kelahirannya yg juga tempat kelahiranku Kendal, Jawa Tengah ke kota kediri. Niat pertama yang tersirat adalah untuk menimba ilmu di pondok pesantren lirboyo. Ya...sambil kuliah di yayasan lirboyo tentunya. Yang kemudian hatinya terjatuh pada seorang dara cantik anak penjual nasi tumpang pecel di sebelah kampusnya, ya dialah ibuku. Ibuku yang masa mudanya dihabiskan untuk membantu nenek berjualan nasi, tanpa bisa merasakan getar dan gairah muda. Dan nenekku adalah seorang pejuang sejati. Betapa tidak, beliau adalah janda dengan 7 orang anak. Dan anaknya yang terakhir adalah ibuku. Ibuku masih berusia 6 bulan (dlm kandungan) ketika kakekku meninggal. Wow.....
Cita – cita bapak adalah mendirikan pesantren atau pusat pendidikan islam di kampung, tepat di atas tanah yang diwariskan kepadanya. Tapi sampai sekarang cita- cita itu masih berhenti di titik angan- angan. Meskipun sebenarnya bapak sudah menjadi guru dan kiai di dalam pesantren keluarga, yang jumlah santrinya dulu hanya 3 orang kemudian berkembang menjadi 5 orang dan terakhir berkembang menjadi 8 orang. Tentu saja dua diantaranya adalah uwais dan waya anakku yang menjadi santri paling setia dan jahil.
Sepertinya sudah sampai pada titik tertinggi titik kehidupan bapak, meskipun cita – citanya hanya sampai pada angan- angan....apalagi yang dicari, anak2 yg sehat dan baik, cucu yg lucu dan pintar. Perfect life...tapi siapalah yang tahu gejolak dalam hati sang bapak....ya siapa yang tahu?
Bapak di hari tuanya mungkin tidak ada hal yang paling membahagiakannya selain saat – saat kami semua berkumpul dan mendengarkan ceritanya.
Bapak di hari tuanya mungkin tidak ada hal yang paling membahagiakan dalam hidupnya selain kami anak- anaknya senantiasa bangga terhadap kisah hidupnya.
Dan hari ini pasti tidak ada yang mengucapkan "Selamat hari Bapak" maka ya aku sajalah yang mengucapkannya. Bukan maksudnya tidak mengucapkannya untuk Ibu lho...haha....
0 komentar:
Posting Komentar